picture widgets

POPULER HARI INI

Total Tayangan

PENGUNJUNG KE

IP
free counters

Student Today, Entrepreneur Tomorrow (Belajar Dari Pesantren)

Posted by SEPUTAR INFOMU

Oleh: Alfanny

Mungkin inilah salah satu warisan kolonial Belanda yang masih kuat melekat dalam mental rakyat Indonesia. Cita-cita menjadi pegawai negeri. Ya, hampir setiap anak muda di negeri ini bercita-cita menjadi pegawai negeri, bukan swasta apalagi pengusaha!

Berdasar kalkulasi Ciputra, seorang pengusaha properti, jumlah entrepreneur di tanah air saat ini baru sekitar 400 ribu orang atau 0,18 persen dari populasi. Padahal, untuk menjadi bangsa maju, Indonesia setidaknya butuh entrepreneur sebanyak 2 persen dari populasi. Untuk itu, Ciputra menyarankan agar pemerintah membentuk entrepreneurship center di setiap perguruan tinggi agar mampu mendidik para mahasiswa supaya dapat menciptakan lapangan kerja setelah menjadi sarjana.

Kurangnya minat para sarjana menjadi entrepreneur salah satunya memang disebabkan kurikulum perguruan tinggi yang tidak mendorong kreativitas wirausaha para mahasiswa. Universitas hanya mencetak calon-calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji dan tidak berani mengambil risiko memulai sebuah usaha.

Selain itu, warisan mental kolonialisme yang sangat mengagung-agungkan status sosial pamong praja (pegawai negeri) juga mengakibatkan sebagian besar orang tua lebih suka melihat anaknya menjadi pegawai negeri daripada pengusaha. Pemerintah kolonial Belanda di masa lampau memang secara sistematis mencoba mematikan kreativitas dan kemandirian rakyat Indonesia.

Jiwa entrepreneurship bangsa Indonesia mulai terkikis sejak VOC (1602-1799) menerapkan monopoli dagang di beberapa wilayah Indonesia. Para pelaut-pedagang Bugis pun terdesak oleh kehadiran VOC. Mereka terpaksa menyingkir jauh dari Nusantara bahkan sampai ke Madasgaskar, Afrika Selatan. Di belahan nusantara yang lain, berpindahnya pusat kerajaan Demak ke Pajang dan kemudian makin ke pedalaman, Mataram semakin mengikis jiwa wirausaha bangsa Indonesia, karena kerajaan Mataram Islam yang berpusat di pedalaman Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) jelas tidak berorientasi niaga tapi lebih berorientasi pertanian subsistensi.

Situasi tersebut diperparah ketika Belanda menerapkan politik etis di bidang pendidikan yang hanya bertujuan mencetak tenaga-tenaga administratif-birokratis bagi kepentingan perkebunan dan pemerintahan. Pada masa itu, universitas favorit yang menjadi incaran utama para pelajar pribumi bukanlah THS (Technische Hooge School –cikal bakal ITB) ataupun STOVIA (cikal bakal Fakultas Kedokteran UI) tetapi OSVIA (sekolah pamong praja yang kini menjadi IPDN). Para orang tua yang mayoritas dari kalangan priyayi dan bupati pribumi berlomba-lomba memasukkan anaknya di OSVIA agar kelak dapat menggantikan dan meneruskan posisi orang tuanya di pemerintahan kolonial. Sejak itu Hindia-Belanda mendapat julukan ”Beambtenstaat” (negeri pegawai) akibat banyaknya jumlah pegawai negeri. Belanda jelas sangat diuntungkan oleh kondisi tersebut karena menangguk loyalitas tunggal dari para pegawai negeri tersebut.

Kondisi loyalitas tunggal para pegawai negeri tersebutpun diteruskan oleh rezim Orde Baru. Alih-alih menjadi ”civil servant” yang seharusnya melayani masyarakat, pegawai negeri di era Orde Baru pun harus menjadi hamba kekuasaan rezim Orde Baru. Para sarjana cerdas dari berbagai universitas favorit pun menjadi kehilangan kreativitas dan kemandirian ketika direkrut menjadi pegawai negeri. Kondisi tersebut jelas tidak mendorong tumbuhnya iklim entrepreneurship di kalangan terdidik Indonesia.

Sudah saatnya, pemerintahan saat ini memutus rantai ”negeri pegawai” ala Hindia-Belanda sekaligus mendorong jiwa entrepreneurship para sarjana dengan melakukan sejunlah langkah radikal antara lain melakukan reformasi birokrasi dan efisiensi besar-besaran jumlah pegawai negeri serta menyamakan status pegawai negeri dengan buruh/pekerja biasa yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan sehingga pegawai negeri tidak mendapat keistimewaan tertentu seperti susah dipecat dan pensiun. Hal tersebut akan mendorong para sarjana dan pencari kerja tidak lagi memandang istimewa status pegawai negeri dan akan terdorong mencari pekerjaan swasta dan bahkan mulai berpikir untuk berwirausaha.

Semua pihak tampaknya perlu melihat kearifan tradisional lembaga pendidikan tertua di negeri ini, pesantren. Sejak dulu, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang terkenal dengan kemandiriannya. Untuk membiayai roda aktivitasnya, pesantren sangat kreatif menciptakan peluang-peluang usaha yang bisa diciptakan dari aset yang dimiliki seperti agro-bisnis, peternakan, travel umroh, busana muslim dan lain-lain. Bahkan beberapa pesantren mampu menciptakan produk retail sendiri seperti kecap, air mineral dan lain-lain yang mampu bersaing dengan produk ritel lainnya. Jadi, tak usah-usah jauh-jauh belajar berwirausaha dari bangsa lain, cukup tengok negeri sendiri yang memiliki ribuan pesantren yang mampu mencetak lulusan siap pakai yang mampu berwirausaha dan layak berslogan ”student today, entrepreneur tomorrow”.

Related Post



Posting Komentar